I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Meningkatnya jumlah
penduduk, pendapatan dan kesejateraan masyarakat menyebabkan permintaan ikan
sebagai sumber protein hewani meningkat. Di sisi lain produksi tangkapan dari
laut semakin mengalami penurunan karena keterbatasan sumber daya alam, terjadi
pencemaran lingkungan yang sukar diatasi dan terjadinya kerusakan habitat
sehinggan ikan tidak bisa melangsungkan perkembangbiakan (Effendie, 2004).
Usaha budidaya laut
merupakan salah satu alternatif usaha
yang dapat memberikan sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi
nelayan. Adanya peningkatkan usaha budidaya ikan, diharapkan produksi ikan
dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha
budidaya ikan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, di samping
itu negara di untungkan karena adanya peningkatan jumlah devisa sebagai hasil
ekspor produk perikanan (Anonymous, 2004).
Kerapu sunu (Plectropomus
leopardus), merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek yang
baik dan harganya mahal terutama untuk pasaran ekspor. Meningkatnya permintaan
pasar akan komoditas ini, maka pengembangan usaha budidaya kerapu sunu
mempunyai prospek yang sangat cerah. Budidaya ikan kerapu telah dilakukan
dibeberapa tempat, namun proses pengembangannya masih menemui kendala karena
keterbatasan benih. Dalam menyediakan benih ikan kerapu, maka telah dilakukan
upaya untuk menghasilkan benih melalui pembenihan buatan secara terkontrol di
panti benih (hatchery). Penyediaan benih ikan kerapu dari hasil
pemijahan di panti pembenihan harus semakin ditingkatkan untuk menjamin pasokan
benih bagi kelangsungan usaha pembenihan ikan kerapu sunu (Anonymous, 2004).
Pada
tahun 2006 ikan kerapu sunu sudah dapat dilakukan pembenihan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL), Gondol –
Bali. Berdasarkan hal di atas, maka
perlu dilakukan kerja lapangan di balai tersebut supaya teknik pembenihan ikan
kerapu sunu dapat diketahui dan dikembangkan.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari praktek kerja lapangan ini adalah :
1.
Mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pembenihan
ikan kerapu sunu di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol-Bali.
2.
Mahasiswa mampu membandingkan antara
teori yang telah di dapat di bangku kuliah dengan praktek yang dilakukan.
3.
Memperoleh
informasi-informasi tentang teknik pembenihan, hama dan penyakit, pemasaran,
dan kendala-kendala yang dihadapi dalam budidaya kerapu sunu, serta cara
mengatasinya.
1.3 Manfaat
Mannfaat dari praktek kerja lapangan ini
adalah :
1. Memberikan
kesiapan mental bagi mahasiswa di dalam memasuki dunia kerja.
2. Memperoleh
bekal untuk berwirausaha.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi
Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes
altivelis )
2.1.1 Taksonomi
dan Morfologi
Menurut Heemstra
dan Randall (1993), kedudukan taksonomi
ikan kerapu sunu (Plecetropomus Leopardus) adalah sebagai berikut
:
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformis
Sub Ordo : Percoidea
Family : Ephinephelinae
Sub Family : Serranidae
Genus : Plecetropomus
Spesies : Plecetropomus Leopardus
Gambar 2.1 Ikan Kerapu Sunu (Plecetropomus Leopardus)
Sumber
: (Kordi, 2001)
Ikan kerapu sunu biasa
disebut leopard coral trout dan merupakan golongan kerapu genus Plecetropomus. Kerapu sunu memiliki tubuh
memanjang silindris. Rumus sirip dari kerapu sunu adalah sebagai berikut, sirip
dorsal terdiri dari 7 atau 8 jari-jari keras yang langsing dan 10 – 12
jari-jari lunak, jari-jari ketiga dan keempat lebih panjang dari yang lain.
Sirip anal terdiri dari 3 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak, jari-jari yang
pertama dan kedua tertanam sehingga sukar dilihat pada individu dewasa. Sirip
pectoral (sirip dada), hampir sama dengan sirip perut dari 15 – 17 jari-jari
lunak (Heemstra dan Randall, 1993).
Warna tubuh ikan kerapu
sering berubah, dipengaruhi kondisi lingkungan dan tingkat stres ikan. Ikan
kerapu sunu sering bewarna merah sehingga dikenal juga kerapu merah dan kadang
bewarna kecoklatan. Pada tubuhnya terdapat bintik-bintik bewarna biru dengan tepi gelap. Ikan ini
memiliki enam buah pita bewarna gelap yang dalam kondisi tertentu sering tidak
tampak. Kerapu sunu jenis P. Leopardus memiliki bintik-bintik kecil yang
berukuran seragam (Ghufran dan Kordi, 2001).
2.1.2
Habitat
Habitat larva kerapu sunu muda
adalah perairan pantai yang pasirnya berkarang dan banyak ditumbuhi padang
lamun (ladang terumbu karang). Pada siang hari, larva kerapu biasanya tidak
muncul ke permukaan air, sebaliknya pada malam hari, larva kerapu banyak muncul
ke permukaan air. Hal ini sesuai dengan sifat kerapu sebagai organisme nocturnal,
yakni pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang dan pada
malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makanan, dan pada umumnya,
siklus hidupnya kerapu sunu muda hidup di perairan karang pantai dengan
kedalaman 0,5 – 3 meter selanjutnya menginjak masa dewasa beruaya ke perairan
yang lebih dalam antara 7 – 40 meter, biasanya perpindahan ini berlangsung pada
siang hari dan senja hari, telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu
muda hinggga dewasa bersifat demersal (Subyakto, 2003).
2.1.3
Kebiasaan Makanan
Menurut Giri
(1998), aktivitas
ikan nokturnal mencari makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-ikan tersebut
digolongkan sebagai ikan soliter di mana aktivitas makan dilakukan secara
individu, gerakannya lambat cenderung diam dan arah gerakannya tidak begitu
luas serta lebih banyak menggunakan indera perasa dan indera penciuman.
2.1.4
Reproduksi
Menurut Effendie dalam
Hijriyati (2012), Pada kerapu sunu mengalami perubahan
jenis kelamin semasa hidupnya. Kerapu sunu
memeliki sifat hermafrodit protogini
yaitu perubahan jenis kelamin dari betina dewasa menjadi jantan. Perubahan
kelamin pada ikan kerapu sunu betina tergantung pada ukuran, umur, dan spesies.
Ikan kerapu sunu mempunyai ukuran induk jantan lebih besar dari ukuran induk
betina sehingga yang jantan dapat membuahi telur-telur lebih dari satu betina.
Masa transisi betina kejantan terjadi setelah mencapai ukuran umur 2,0 – 2,5 tahun
sedangkan ikan kerapu sunu yang berumur 2,5 tahun ke atas sudah berubah menjadi
kelamin jantan. Adapun tingkat
kematangan gonad dan fekunditas ikan kerapu sunu sebagai berikut :
1.
Tingkat Kematangan Gonad
Pengetahuan tentang
tingkat kematang gonad diperlukan untuk pengetahui perbandingan antara ikan
yang matang gonad dengan yang belum dari stok yang ada dalam perairan, selain
itu, dapat diketahui juga ukuran ikan pertama kali matang gonad, waktu
pemijahan, dan berapa lama saat memijahan. Perkembangan gonad yang semakin
matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan.
Pencatatan perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk
mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan pemijahan dan yang tidak,
selain itu dari tahap kematangan gonad dapat diketahui juga bilamana ikan akan
memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah dan tingkat kematang gonad
dapat diketahui dengan dua cara yaitu dengan cara pengamatan morfologi yang
dilakukan di laboratorium dan lapangan dengan cara histologi. Dasar yang
digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad secara morfologi adalah
dengan melihat bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi
gonad yang dapat dilihat tingkat kematangan gonad pada ikan kerapu sunu dapat
dibagi menjadi tujuh tahap (Effendie dalam Hijriyati 2012). Adapun tingkat kematangan gonad ikan kerapu
sunu disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1 Tingkat kematangan gonad ikan
kerapu sunu
No
|
Tahap
|
Keterangan
|
1.
|
Tidak masak
|
Individu
masih belum berhasrat mengadakan reproduksi dan ukuran gonadnya masih kecil.
|
2.
|
Masa istrahat
|
Produk
seksual belum berkembang, gonad berukuran kecil, dan telur tidak dapat
dibedakan dengan mata.
|
3.
|
Hampir masak
|
Testis
dapat berubah dari transparan menjadi merah dan telur sudah dapat dibedakan
dengan mata.
|
4.
|
Masak
|
Gonad sudah masak dan mencapai berat
maksimum.
|
5.
|
Reproduksi
|
Perut
diberikan sedikit tekanan maka gonad akan sedikit menonjol keluar dari lubang
pelepasan dan berat gonad akan berkurang sejak memulai pemijahan hingga
pemijahan selesai.
|
6.
|
Keadaan salin
|
Gonad
telah dikeluarkan, lubang genital bewarna kemerahan, gonad mengempis, ovarium
berisi beberapa telur sisa, dan testis juga berisi sperma sisa.
|
7.
|
Tahap terakhir
|
Warna
kemerahan pada lubang genital sudah pulih dan gonad kecil.
|
Sumber :
Effendie dalam Hijriyati (2012).
2.
Fekunditas
Fekunditas merupakan
jumlah telur matang sebelum dikeluarkan pada waktu ikan akan memijah.
Fekunditas memberikan informasi taksiran jumlah anak ikan yang akan dihasilkan
dan menentukan jumlah telur dalam kelas umur yang bersangkutan (effendie dalam
Hijriyati 2012).
Pemijahan alami pada
ikan kerapu sunu dalam kelompok dengan jumlah induk betina 3 – 7 ekor (Berat
badan = 3,3 – 11,5 kg), dan induk jantan 2 – 5 ekor (Berat badan = 5,4 – 10,7
kg), dapat menghasilkan telur 4 – 48 juta butir per musim per bulan atau 3 – 9
juta per ekor pada induk betina. Diameter telur hasil pemijahan berkisar antara
816 – 935 mikron, sedangkan gelembung minyak (oil glubule), 191 – 241
mikron (Djamali dkk., 2001).
2.1.5
Jenis Ikan Kerapu Lainnya
Selain ikan kerapu sunu, ikan kerapu komuditas lainnya adalah
kerapu lumpur (Epinephelus coioides), dengan ciri terutama penampakan bintik pada tubuhnya.
Bentuk tubuh memanjang bagian kepala dan punggung berwarna gelap dan kehitaman,
sedangkan perut berwarna keputihan, seluruh tubuhnya dipenuhi bintik-bintik
kasar berwarna kecoklatan atau kemerahan. Ikan kerapu Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatu), memiliki
badan yang tertutup oleh sisik kecil mengilap dan bercak-bercak loreng mirip
macan. Badan berbentuk gepeng (compressed), sirip dada kemerahan dan
sirip lainnya bertepi coklat kemerahan. Rahang atas dan bawah dilengkapi
gigi-gigi geragatan terderet dua baris, ujung lancip, dan kuat. Ujung luar
bagian dari gigi baris luar adalah gigi-gigi yang besar. Sementara itu,
mulutnya lebar serong keatas dan bibir bawahnya menonjol keatas. Ikan kerapu
tikus (Cromileptes altivelis),
bertubuh agak pipih dan warna dasar kulit tubunya abu-abu dengan bintik-bintik
hitam diseluruh permukaan tubuh (Tim Induk Ikan Kerapu, 2001).
2.1.6
Teknik Pembenihan
Menurut K.
Suwirya dkk (2006), teknik
pembenihan yaitu meliputi dari seleksi induk, pemeliharaan induk, seleksi induk
untuk persiapan pemijahan, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva,
seleksi benih, dan pemanenan sebagai berikut :
1. Seleksi Induk
Keberhasilan
suatu usaha pembenihan sangat ditentukan pada ketersediaan induk yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya. Induk yang baik untuk pemijahan memiliki berat,
untuk betina lebih dari 1,0 kg dan jantan lebih dari 2,5 kg, sehat dan tidak
cacat. Semakin berat induk, akan mempunyai gonad semakin besar sehingga
produksi telurnya semakin banyak. Induk yang sudah matang gonad dan biasanya menunjukan ciri-ciri, baik
dari fisik maupun tingkah lakunya. Induk betina matang gonad perutnya lebih
buncit dan pada awal pemijahan biasanya mengalami penurunan nafsu makan (K. Suwirya dkk., 2006).
2. Pemeliharaan Induk
Pakan yang
diberikan selama pemeliharaan induk dapat berupa cumi-cumi, rucah, dan udang
untuk memberinya dapat divariasikan. Jumlah pakan yang diberikan adalah 2 – 3%
dari total berat badan induk dengan frekuensi pemberian sekali sehari, pada
pagi hari atau sore (K. Suwirya dkk., 2006).
Menurut Suriawan dan Subyakto (2011), persiapan bak yang digunakan berbeda-beda, untuk pemeliharaan induk ikan
kerapu di darat dapat dilakukan dalam bak pemeliharaan (bak semen atau fiber), bervolume 100 – 150 m3,
dengan kepadatan induk yang dipelihara adalah 1 – 3 kg per m3.
Sementara pemeliharaan di laut dapat dilakukan dalam keramba jaring apung (KJA),
berkuran 8 m x 8 m setiap unitnya dengan ukuran mata jaring 2 inch. Kepadatan
induk yang dipelihara dalam keramba jaring apung adalah 1 – 1,5 kg m3.
3. Seleksi Induk Untuk Persiapan
Pemijahan
Untuk mempermudah seleksi induk, terlebih dahulu dilakukan pembiusan.
Pembiusan harus dilakukan sebelum pemeriksaan kematangan gonad. Obat bius yang
sering digunakan antara lain ethyleneglycol monophenilether dengan dosis
100 ppm atau minyak cengkeh dengan dosis 50 ppm. Pemeriksaan kematangan gonad
pada induk betina dilakukan dengan metoda kanulasi dengan memasukan selang
kanula atau kateter berdiameter 1 mm kedalam lubang genital sedalam 5-10 cm,
lalu telur diisap. Setelah itu selang kanula dicabut secara perlahan. Dari
hasil pengamatan, telur yang siap dipijahkan harus berdiameter minimal 450μ.
Untuk induk jantan, pemeriksaan kematangan gonad dilakukan dengan metoda
stripping. Metode ini dilakukan dengan mengurut bagian perut ikan ke arah
lubang genital agar keluarnya sperma secara berlebihan dapat dihindari karena sperma
yang keluar berlebihan dapat merusak organ dalam. Sperma yang baik dan siap
dipijahkan berwarna putih susu dan kental. Untuk pemijahan buatan ini,
perbandingan induk jantan dan betina sebaiknya 1:1. Bila jumlah induk cukup
banyak sebaiknya disesuaikan dengan target produksi. Berat induk jantan atau
betina antara 1 – 4 kg (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
4. Pemijahan
Menurut Subyako (2003),
untuk pemijahan kerapu sunu, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu pemijahan
secara alami dan sistem rangsangan hormonal. Berikut diulas kedua cara tersebut
:
a.
Sistem manipulasi lingkungan
Pada sistem manipulasi lingkungan ini dilakukan pengeringan dan pengaliran
air. Pengeringan air merupakan kegiatan penjemuran air yang dilakukan siang – sore
hari hingga permukaan air dinaikan kembali dengan cara dialiri air sepanjang
malam, dengan cara ini suhu air akan naik turun antara 2 – 5ºC. Suhu sangat
berpengaruh pada proses reproduksi. Suhu yang diterima kulit oleh organ
termosensor akan dilanjutkan ke otak sehingga menghasilkan hormone GnRH dan
LHRH. Hormon inilah yang merangsang kelenjar pituitary sebagai penghasil
hormone HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Hormone HCG tersebut
merangsang kelamin untuk berproduksi. Selain suhu, intensitas cahaya pun berperan
dalam pematangan gonad (Subyakto, 2003).
b.
Sistem rangsang hormonal
Sistem ini pun masih
merupakan pemijahan alami, tetapi induk perlu dirangsang dengan penyuntikan
hormon. Induk harus diseleksi yang terbaik untuk disuntik. Penyuntikan bisa
dilakukan melalui otot daging (intramuskular), Melalui selaput dinding
perut (intraperitonial), melalui rongga dada (chest cavity), dan
melalui pangkal sirip (pectoral), namun, cara yang paling sering
digunakan adalah melalui pangkal sirip. Hormon yang digunakan adalah hormon
buatan seperti HCG dan Pb (puberogen). Dosis penyuntikan untuk setiap
kilogram berat badan induk adalah 1000 IU hormon HCG dan 75 RU hormon. Penyuntikan
hormone hanya dilakukan sekali saja, yaitu pagi hari, pada jantan dan betina
dengan dosis yang sama. Keberhasilan pemijahan secara buatan sangat ditentukan
oleh tingkat kematangan gonad. Langkah awal dalam proses pemijahan buatan ini
adalah seleksi induk jantan dan betina. Induk yang harus dipilih harus
benar-benar siap dipijahkan (Subyakto, 2003).
5. Penetasan telur
Telur yang telah dipanen dipindahkan ke dalam tangki polikarbonat
transparan yang telah di isi air laut. Kotoran yang tercampur dengan telur
dibuang melalui penyaringan telur dengan mata jaring 1000 mikron (1 mm). Telur
dalam air akan terpisah menjadi tiga bagian telur yang terapung, melayang dalam
air dan mengendap di dasar tangki. Telur yang mengendap adalah telur yang tidak
dibuahi atau mati dan harus segera dibuang. Telur yang melayang dalam air
sebenarnya masih hidup namun tidak disarankan untuk digunakan dan sebaiknya
dibuang. Telur yang melayang bisa menetas, namun larva yang dihasilkan sangat
lemah, abnormal dan sudah mati. Dalam pembenihan, hanya telur yang terapung
saja yang digunakan dengan cara memindahkannya menggunakan gayung. Telur yang
terapung sebelum ditetaskan direndam terlebih dahulu dalam air laut yang
mengandung 20 ppm larutan iodine untuk membasmi bakteri. Perendaman
dengan iodine juga berguna untuk seleksi telur, karena setelah
perendaman telur yang lemah biasanya mati sedangkan yang bermutu baik akan
bertahan hidup. Telur dapat disimpan dalam bak inkubasi sampai menetas, akan
tapi menangani dan memindahkan larva yang baru menetas kedalam bak pemeliharaan
larva. Pada umumnya telur yang disimpan dalam bak penetasan tidak menetas
semua. Telur yang tidak menetas akan mengendap didasar bak, hal ini dapat
dilihat pada siang hari setelah jam 13 : 00. Telur yang berkembang normal akan
melayang karena diaerasi, namun sesaat sebelum menetas telur-telur tersebut
akan berkumpul dipermukaan air. Pengambilan telur untuk dipindahkan ke bak
pemeliharaan larva harus dilakukan beberapa saat sebelum menetas. Jumlah telur
yang dapat digunakan untuk penetasan dan pembesaran larva dapat diduga dan
dihitung dengan metoda volumetric (Sugama dkk., 2001).
6. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan
larva dapat dilakukan dalam bak semen dengan kapasitas 10 – 20 ton yang
dilengkapi dengan aerasi. Padat penebaran telur antara 40 – 60 / liter. Padat
penebaran 50 butir / liter memberikan tingkat kelulusan hidup larva atau benih
terbaik sampai umur 30 hari (Aslianti dalam Runtuboy 2004).
Larva kerapu
sunu yang baru menetas mempunyai panjang badan total 1,69 – 1, 79 μm dan lama
waktu penetasan 17 – 19 jam pada suhu 27 – 290C. Pada waktu larva
berumur D. 1 saluran pencernaan sudah mulai terlihat, tetapi mulut dan anus
masih tertutup, calon mata sudah terbentuk bewarna transfaran. Larva umur D. 2
bersifat planktonis, bergerak mengikuti arus, sistem penglihatan belum
berfungsi serta masih mempunyai kuning telur (yolc sac) (Anonim dalam
Runtuboy 2004).
Pada saat mulut larva terbuka pada waktu larva umur 3 hari pakan alami
sudah mulai diberikan berupa Rotifer tipe-SS diberikan dengan kepadatan 5 – 6
ind/ml. Untuk mengetahui laju pertumbuhan larva, maka kepadatan larva dihitung
dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Penambahan rotifer dilakukan
apabila kepadatannya kurang dari 5 ind/ml. Mulai umur 5 hari larva diberi pakan
rotifer tipe-S dengan kepadatan 7 – 9 ind/ml, disarankan untuk memberikan pakan
rotifer hingga berumur 30 hari. Rotifer yang diberikan pada larva
sebaiknya diperkaya dengan cara memberikan pakan berupa fitoplankton Nannochloropsis
selama 6 jam untuk meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh (HUFA). Upaya
untuk menghindari terkontaminasinya rotifer dengan bakteri, disarankan untuk
merendamnya dalam larutan 1 ppm preufuran (bahan antibiotic mengandung 10%
nifurpirinol diproduksi oleh Argent Chemical Lab. USA), bersamaan dengan
waktu pengkayaan (Giri, 1998).
Pada waktu larva berumur D. 12 – 15 hingga umur D. 20 pakan hidup yang
diberikan berupa naupli artemia dengan kepadatan 0,5 – 3 ekor/ml dan dapat
ditambahkan dengan copepoda untuk menambah variasi kandungan nutrisi pakan
sejak larva berumur D. 8 – 25. Pada umur larva D. 25 – 35 pakan yang diberikan
di samping naupli artemia, juga diberikan artemia muda dengan kepadatan 0,5 – 1
ekor/ml. Benih ikan umur D. 35 – 45 diberi pakan artemia dewasa atau udang
jembret (Mysidopsis sp). Juvenil ikan kerapu sunu umur 45 hari dan
seterusnya diberi pakan rebon segar dan daging ikan segar yang digiling dengan
frekuensi pemberian pakan 3 – 4 kali/hari (Minjoyo dkk., 1998).
Agar tidak terjadi malnutrisi pada larva, maka pemberian pakan buatan harus
dilakukan sedini mungkin. Pakan buatan dapat juga berdampak negative terhadap
kualitas air akibat dari pembusukan sisa pakan. Disarankan untuk memberikan
pakan buatan dimulai pada saat larva berumur 17 hari, karena larva lebih suka
memangsa pakan hidup, maka sebaiknya pemberian pakan buatan dikombinasikan
dengan pakan hidup. Cara pemberian pakan buatan dilakukan dengan cara menabur
pakan sedikit demi sedikit memakai tangan. Sesuai dengan perkembangan larva,
ukuran pakan buatan disesuaikan dengan kemampuan larva memakannya (Giri, 1998).
7. Pemanenan Benih
Tujuan panen benih dari bak pemeliharaan larva adalah untuk melanjutkan
kegiatan ke tahap berikutnya dalam ruang lingkup usaha pembenihan yaitu
kegiatan pendederan, namun demikian kegiatan ini juga dapat merupakan suatu
usaha sendiri yang terpisah. Panen benih dilakukan pada saat larva telah
mengalami metamorphosis, yaitu spina dorsalis dan pectoralis
telah tereduksi, pigmentasi tubuh telah muncul dan larva telah berubah bentuk
menyerupai ikan dewasa. Umur benih pada kondisi ini biasanya berkisar antara 30
– 40 hari dan mencapai ukuran 1,5 – 2 cm. jika benih dipanen untuk usaha
pendederan yang terpisah dari lokasi pembenihan, sebaiknya pemanenan dilakukan
bila telah mencapai ukuran 2-3 cm agar lebih aman dalam pengangkutan. Persiapan panen yang
perlu dilakukan adalah mempersiapkan peralatan panen yang akan dipergunakan
seperti keranjang plastik, ember, jaring, gayung dan baskom. Agar pemanenan
dapat berjalan dengan baik. Adapun panen dilakukan dengan cara menggiring ikan
kesudut bak, setelah terkumpul ikan dipanen dengan menggunakan baskom dan
langsung dipindahkan ke bak pendederan yang telah disiapkan dan pemanenan
dilakukan dengan cara mengurangi air media pemeliharaan hingga tersisa ¼ bagian
dari volume awal, selanjutnya ikan diambil dengan menggunakan skopnet.
Ikan-ikan tersebut ditempatkan pada wadah yang sudah disiapkan untuk dilakukan
pemilihan ukuran dan jumlah selanjutnya siap untuk dikemas. Benih dari hasil
pendederan sebaiknya dipuasakan minimal 24 jam sebelum dipanen. hasil
pengalaman menunjukan bahwa bila benih dikemas dalam kondisi kenyang atau
didalam lambung masih ada sisa pakan, maka pakan tersebut akan dimuntahkan.
Kotoran yang dikeluarkan ikan akan menurunkan kualitas air media pengangkutan,
hal inilah yang dapat menyebabkan kematian benih selama pengangkutan (Anonim dalam
Runtoboy 2004).
8. Pengelolaan Kualitas Air
Menurut Akbar dan Sudaryanto (2001), kualitas air perlu diperhatikan dan
dikontrol untuk menunjang keberhasilan pemeliharaan larva. Bila bak
pemeliharaan larva menggunakan bak penetasan telur, penyiponan harus sudah
dilakukan sehari setelah telur menetas, namun, penyiponan ini sebenarnya bukan
untuk mengganti air, melainkan untuk membuang cangkang telur dan telur yang tidak
menetas. Pengelolaan air yang dilakukan dalam pemeliharaan adalah sebagai
berikut :
a.
Pergantian air
Pergantian air dengan penyiponan mulai dilakukan setelah larva berumur 10 –
20 hari sebanyak 10 – 20% per hari. Umur 21-30 hari, air yang diganti sebanyak
30 – 40% per hari. Umur 31 – 35 diganti sebanyak 50 – 80% per hari, dan lebih
dari umur 35 hari airnya diganti sebanyak 80% per hari (Akbar dan
Sudaryanto, 2001).
b.
Pengaturan suhu dan kadar garam
Suhu air laut yang layak untuk kehidupan kerapu sunu yaitu 26 – 31ºC.
Kisaran ini layak untuk kehidupan larva ikan kerapu sunu. Perubahan suhu air
yang terjadi secara tiba-tiba dalam kisaran tinggi akan memicu terjadinya
stress pada larva. Untuk menghindari stress disarankan menutup bak larva dengan
plastic transparan dimalam hari. Kadar garam air laut yang stabil yaitu 34 – 35
ppt (Sugama dkk., 2001).
c.
Penambahan plankton
Plankton dari jenis Nannochlorosis dengan kepadatan 10 – 15 sel/ml,
dimasukan ke dalam bak larva untuk penyediaan pakan rotifer dan untuk
mempertahankan warna air agar berwarna hijau yang selanjutnya dapat meratakan
intensitas cahaya dalam air. Warna air yang hijau dapat menghindari kematian
larva mengapung dan juga dapat menghindari terjadinya larva menggerombol
disuatu tempat dalam bak. Larva ikan kerapu sunu ini sangat sensitive terhadap
perubahan kondisi lingkungan, oleh karena itu plankton harus ditambahkan ke dalam
bak pemeliharaan secara perlahan selama beberapa jam setiap hari menggunakan
selang kecil. Penambahan air plankton ke dalam bak larva pada saat sebelum
matahari terbenam dan dengan pemasangan lampu penerangan diatas bak larva akan
membantu tumbuhnya populasi plankton (Sugama dkk., 2001).
d.
Penyebaran minyak ikan pada permukaan air pada bak larva
Sangat disarankan untuk menyebarkan minyak ikan atau minyak cumi di atas
permukaan air bak larva pada saat larva berumur 1-5 HSM. Perlakuan ini sangat
membantu menghindari kematian larva yang mengapung. Minyak tersebut diteteskan
pada permukaan air lalu menyebar keseluruh permukaan air dalam bak larva.
Jumlah minyak yang diteteskan adalah 0,1 ml/m2 luasan permukaan air
bak dan dilakukan 3 kali sehari sekitar jam 8:00, 15:30 dan 22:00 (Sugama dkk.,
2001).
9. Hama
Menurut Kordi (2001), hama
adalah organisme yang sengaja maupun tidak sengaja dan langsung maupun tidak
langsung mengganggu, membunuh, dan memangsa ikan. Macam-macam hama dapat
dikategorikan ke dalam jenis kompetitor (pesaing), predator (pemangsa), perusak
sarana, dan pencuri sebagai berikut :
a.
Kompetitor
kompetitor adalah organisme yang menimbulkan persaingan dengan kerapu yang
dipelihara dalam hal mendapatkan makanan, oksigen, dan ruang gerak. Organisme
pesaing bisa berupa alga, kerang-kerangan, teritip, dan lumut yang semuanya
biasa menempel pada jaring, sementara itu siput dan kepiting biasa ditemui
sebagai pesaing di tambak. Untuk menanggulangi hama di KJA, bisa mengganti
jaring yang telah ditempeli alga, lumut, teritip, dan kerang-kerangan, dengan
demikian sirkulasi oksigen dan sinar matahari tidak akan terhalang oleh
organisme tersebut. Untuk jaring yang memiliki mata jaring 1 inci, dibutuhkan
waktu untuk ganti jaring sekitar 2 minggu, sedangkan untuk mata jaring berukuran
2 inci dibutuhkan waktu ganti sekitar 3 – 4 minggu. Untuk mengendalikan hama di
tambak, cara menanggulangi siput agar tidak masuk ke tambak adalah memungut dan
membuannya secara manual. Bisa pula dengan menggunakan pestisida organik saat
persiapan lahan. Jenis kepiting yang menggali pematang dapat ditanggulangi
dengan memperkuat pematang dan menangkap kepiting tersebut. Pengendalian
terhadap kerang yang suka menempel pada kayu di tambak adalah mengganti kayu
dengan yang baru (Kordi, 2001).
b.
Predator
Predator adalah
organisme yang memangsa ikan peliharaan. Pemangsa kerapu biasanya berupa ikan
hiu dan jenis burung seperti camar dan pelikan. Untuk predator seperti hiu
biasanya tidak akan menyerang jika memang lokasi budidaya bukan merupakan
daerah teritorial hiu. Untuk menaggulanginya dengan membuat jaring rangkap supaya ruang gerak ikan buas
bisa dipersulit sehingga tidak bisa menembus jaring. Untuk menanggulangi hama
burung, bisa menggunakan tutup pada permukaan KJA agar tidak menyambar ikan,
sedangkan untuk di tambak bisa dengan memperdalam ketinggian air. Kontrol
terhadap lingkungan budidaya juga harus dilakukan untuk mencegah hama tersebut
masuk (Kordi, 2001).
c.
Perusak sarana
Ada pula organisme yang bisa merusak sarana budidaya, misalnya ikan buas dan
ikan buntal. Jaring bisa robek kerena serangan ikan buas yang akan memangsa
kerapu, sedangkan ikan buntal juga memiliki sifat yang sama yaitu merobek
jaring KJA. Untuk mengantisipasi, sebaiknya dipilih lokasi yang dasar
perairanya tidak terlalu dekat dengan habitat ikan buntal adalah dasar perairan
(demersal), sehingga akan memancingnya untuk menyerang KJA jika jarak dasar
perairan dengan KJA terlalu dekat. Hewan yang dapat menyebabkan kerusakan
tambak, misalnya kepiting menggali pematang, siput dan kerang yang dapat
menyebabkan kerusakan pintu, dan sebagainya. Hewan-hewan ini dapat diatasi
dengan memungut atau melepaskannya dari lubang penggalian atau tempat
penempelannya. Untuk mencegah kebocoran pintu air, haruslah dibuat bahan-bahan
pembuat pintu yang bermutu tinggi (Kordi, 2001).
d.
Pencuri
Manusia biasanya bertindak
sebagai pelaku pencurian dan bisa menguras ikan dalam waktu yang singkat.
Penangggulanganya adalah dengan mengontrol area lahan secara kontinu dan dijaga
secara bergantian. Buatlah rumah jaga di areal budidaya sehingga keamanan
selalu terjaga (Kordi, 2001).
10. Penyakit
Di lingkungan alam,
ikan dapat diserang berbagai macam penyakit atau parasit, demikian juga dalam
pembudidayaan, bahkan penyakit atau parasit tersebut dapat menyerang dalam
jumlah yang lebih besar dan dapat menyebabkan kematian ikan. Pencegahan
penyakit dan penanggulangan merupakan aspek budidaya yang penting. Penyakit
dapat ditimbulkan oleh satu atau berbagai macam sumber penyakit. Sebagai
contoh, penyakit disebabkan oleh satu factor, tetapi kemudian dibarengi oleh
factor yang lain. Bila terjadi semacam ini, penyakit kedua memanfaatkan kondisi
yang disebabkan oleh penyakit pertama di dalam tempat pemeliharaan, seperti
KJA, tangki, atau bak jenis ikan ini sering menjadi sasaran berbagai parasit,
bakteri, dan virus. Parasit yang paling sering dijumpai adalah Neobenedenia yang
hidup di kulit maupun insang. Serangan parasit ini dapat di atasi dengan cara
ikan direndam selama beberapa menit di dalam air tawar. Sementara itu, jenis
bakteri yang suka menyerang sirip dan kulit kerapu adalah Flexibacter
dan Vibrio. Penyakit bakteri tersebut dapat diatasi dengan pemberian
antibiotic, seperti oxytetracycline (50 mg) atau oxolinic acid
(10-30 mg), per kg bobot badan ikan secara oral. Penyakit lain disebabkan oleh
virus VNN dan iridovirus. Golongan penyakit ini sangat merugikan, oleh karena
itu pemilihan benih yang sehat sebelum ditebar kedalam karamba sangat penting
untuk dilakukan (Kordi, 2001).
BAB III
METODE PRAKTEK KERJA LAPANGAN
3.1 Waktu
dan Tempat
Praktek Kerja Lapangan ini dilakukan selama (satu) bulan, mulai bulan April sampai dengan
Mei 2015 bertempatan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL), Gondol – Bali.
3.2 Metode
Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan Data yang akan
digunakan dalam kegiatan kerja lapangan yang akan
dilaksanakan yaitu:
a.
Observasi : Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan
cara mengamati secara langsung obyek yang akan diamati atau dengan perantaraan
alat.
b.
Wawancara : Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan
cara mengadakan komunikasi atau tanya jawab secara langsung dengan peneliti
yang bersangkutan.
c.
Partisipasi : Partisipasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan ikut serta secara
aktif dalam kegiatan persiapan pemijahan, pemijahan dan pemeliharaan larva.
3.3 Prosedur Kerja
a)
Persiapan sarana dan prasarana
b)
Pengelolaan induk
c)
Seleksi induk
d)
Pemijahan
e)
Penetasan telur dan pemeliharaan
larva (Perhitungan jumlah
telur HR,SR)
f)
Pendederan
g)
Pemanenan benih
h)
Pengelolaan kualitas air ( pH, Suhu ,
Amoniak , dan kadar oksigen air)
i)
Pengendalian Hama dan Penyakit
3.4 Jadwal
Kegiatan Kerja :
Kegiatan
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
1 2 3 4
|
1 2 3 4
|
1 2 3 4
|
1 2
3 4
|
|
Survey dan perijinan
|
* * *
|
*
|
|
|
Proposal
|
|
* * *
|
*
|
|
Pelaksanaan
|
|
|
* * *
|
*
|
Laporan
|
|
|
|
* *
|
Ujian
|
|
|
|
*
|