Minggu, 16 Agustus 2015

Teknik Pembenihan Kerapu Sunu 2015

I.    PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan dan kesejateraan masyarakat menyebabkan permintaan ikan sebagai sumber protein hewani meningkat. Di sisi lain produksi tangkapan dari laut semakin mengalami penurunan karena keterbatasan sumber daya alam, terjadi pencemaran lingkungan yang sukar diatasi dan terjadinya kerusakan habitat sehinggan ikan tidak bisa melangsungkan perkembangbiakan (Effendie, 2004).
Usaha budidaya laut merupakan  salah satu alternatif usaha yang dapat memberikan sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Adanya peningkatkan usaha budidaya ikan, diharapkan produksi ikan dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha budidaya ikan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, di samping itu negara di untungkan karena adanya peningkatan jumlah devisa sebagai hasil ekspor produk perikanan (Anonymous, 2004).
Kerapu sunu (Plectropomus leopardus), merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek yang baik dan harganya mahal terutama untuk pasaran ekspor. Meningkatnya permintaan pasar akan komoditas ini, maka pengembangan usaha budidaya kerapu sunu mempunyai prospek yang sangat cerah. Budidaya ikan kerapu telah dilakukan dibeberapa tempat, namun proses pengembangannya masih menemui kendala karena keterbatasan benih. Dalam menyediakan benih ikan kerapu, maka telah dilakukan upaya untuk menghasilkan benih melalui pembenihan buatan secara terkontrol di panti benih (hatchery). Penyediaan benih ikan kerapu dari hasil pemijahan di panti pembenihan harus semakin ditingkatkan untuk menjamin pasokan benih bagi kelangsungan usaha pembenihan ikan kerapu sunu (Anonymous, 2004).
Pada tahun 2006 ikan kerapu sunu sudah dapat dilakukan pembenihan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL), Gondol – Bali. Berdasarkan hal di atas, maka perlu dilakukan kerja lapangan di balai tersebut supaya teknik pembenihan ikan kerapu sunu dapat diketahui dan dikembangkan.
1.2 Tujuan
            Tujuan dari praktek kerja lapangan ini adalah :
1.    Mendapatkan  pengetahuan dan keterampilan dalam pembenihan ikan kerapu sunu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol-Bali.
2.    Mahasiswa mampu membandingkan antara teori yang telah di dapat di bangku kuliah dengan praktek yang dilakukan.
3.    Memperoleh informasi-informasi tentang teknik pembenihan, hama dan penyakit, pemasaran, dan kendala-kendala yang dihadapi dalam budidaya kerapu sunu, serta cara mengatasinya.
1.3 Manfaat
Mannfaat dari praktek kerja lapangan ini adalah :
1.      Memberikan kesiapan mental bagi mahasiswa di dalam memasuki dunia kerja.
2.      Memperoleh bekal untuk berwirausaha.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Biologi Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis )
2.1.1 Taksonomi dan Morfologi
Menurut Heemstra dan Randall (1993), kedudukan taksonomi ikan kerapu sunu (Plecetropomus Leopardus) adalah sebagai berikut :
Phylum            : Chordata
Subphylum      : Vertebrata
Class                : Teleostei
Sub Class        : Actinopterygii
Ordo                : Perciformis
Sub Ordo        : Percoidea
Family             : Ephinephelinae
Sub Family      : Serranidae
Genus              : Plecetropomus
Spesies            : Plecetropomus Leopardus
 
Gambar 2.1 Ikan Kerapu Sunu (Plecetropomus Leopardus)
Sumber : (Kordi, 2001)

Ikan kerapu sunu biasa disebut leopard coral trout dan merupakan golongan kerapu genus Plecetropomus. Kerapu sunu memiliki tubuh memanjang silindris. Rumus sirip dari kerapu sunu adalah sebagai berikut, sirip dorsal terdiri dari 7 atau 8 jari-jari keras yang langsing dan 10 – 12 jari-jari lunak, jari-jari ketiga dan keempat lebih panjang dari yang lain. Sirip anal terdiri dari 3 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak, jari-jari yang pertama dan kedua tertanam sehingga sukar dilihat pada individu dewasa. Sirip pectoral (sirip dada), hampir sama dengan sirip perut dari 15 – 17 jari-jari lunak  (Heemstra dan Randall, 1993).
Warna tubuh ikan kerapu sering berubah, dipengaruhi kondisi lingkungan dan tingkat stres ikan. Ikan kerapu sunu sering bewarna merah sehingga dikenal juga kerapu merah dan kadang bewarna kecoklatan. Pada tubuhnya terdapat bintik-bintik  bewarna biru dengan tepi gelap. Ikan ini memiliki enam buah pita bewarna gelap yang dalam kondisi tertentu sering tidak tampak. Kerapu sunu jenis P. Leopardus memiliki bintik-bintik kecil yang berukuran seragam (Ghufran dan Kordi, 2001).
2.1.2  Habitat                                                                                    
Habitat larva kerapu sunu muda adalah perairan pantai yang pasirnya berkarang dan banyak ditumbuhi padang lamun (ladang terumbu karang). Pada siang hari, larva kerapu biasanya tidak muncul ke permukaan air, sebaliknya pada malam hari, larva kerapu banyak muncul ke permukaan air. Hal ini sesuai dengan sifat kerapu sebagai organisme nocturnal, yakni pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makanan, dan pada umumnya, siklus hidupnya kerapu sunu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 – 3 meter selanjutnya menginjak masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7 – 40 meter, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja hari, telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hinggga dewasa bersifat demersal (Subyakto, 2003).
2.1.3 Kebiasaan Makanan
Menurut Giri (1998), aktivitas ikan nokturnal mencari makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-ikan tersebut digolongkan sebagai ikan soliter di mana aktivitas makan dilakukan secara individu, gerakannya lambat cenderung diam dan arah gerakannya tidak begitu luas serta lebih banyak menggunakan indera perasa dan indera penciuman.

2.1.4 Reproduksi
Menurut Effendie dalam Hijriyati (2012), Pada kerapu sunu mengalami perubahan jenis kelamin semasa hidupnya. Kerapu  sunu memeliki sifat hermafrodit protogini yaitu perubahan jenis kelamin dari betina dewasa menjadi jantan. Perubahan kelamin pada ikan kerapu sunu betina tergantung pada ukuran, umur, dan spesies. Ikan kerapu sunu mempunyai ukuran induk jantan lebih besar dari ukuran induk betina sehingga yang jantan dapat membuahi telur-telur lebih dari satu betina. Masa transisi betina kejantan terjadi setelah mencapai ukuran umur 2,0 – 2,5 tahun sedangkan ikan kerapu sunu yang berumur 2,5 tahun ke atas sudah berubah menjadi kelamin jantan. Adapun  tingkat kematangan gonad dan fekunditas ikan kerapu sunu sebagai berikut :
1. Tingkat Kematangan Gonad
Pengetahuan tentang tingkat kematang gonad diperlukan untuk pengetahui perbandingan antara ikan yang matang gonad dengan yang belum dari stok yang ada dalam perairan, selain itu, dapat diketahui juga ukuran ikan pertama kali matang gonad, waktu pemijahan, dan berapa lama saat memijahan. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Pencatatan perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan pemijahan dan yang tidak, selain itu dari tahap kematangan gonad dapat diketahui juga bilamana ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah dan tingkat kematang gonad dapat diketahui dengan dua cara yaitu dengan cara pengamatan morfologi yang dilakukan di laboratorium dan lapangan dengan cara histologi. Dasar yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad secara morfologi adalah dengan melihat bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad yang dapat dilihat tingkat kematangan gonad pada ikan kerapu sunu dapat dibagi menjadi tujuh tahap (Effendie dalam Hijriyati 2012).  Adapun tingkat kematangan gonad ikan kerapu sunu disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut :


Tabel 2.1 Tingkat kematangan gonad ikan kerapu sunu
No
Tahap
Keterangan
1.
Tidak masak
Individu masih belum berhasrat mengadakan reproduksi dan ukuran gonadnya masih kecil.
2.
Masa istrahat
Produk seksual belum berkembang, gonad berukuran kecil, dan telur tidak dapat dibedakan dengan mata.
3.
Hampir masak
Testis dapat berubah dari transparan menjadi merah dan telur sudah dapat dibedakan dengan mata.
4.
Masak
Gonad sudah masak dan mencapai berat maksimum.
5.
Reproduksi
Perut diberikan sedikit tekanan maka gonad akan sedikit menonjol keluar dari lubang pelepasan dan berat gonad akan berkurang sejak memulai pemijahan hingga pemijahan selesai.
6.
Keadaan salin
Gonad telah dikeluarkan, lubang genital bewarna kemerahan, gonad mengempis, ovarium berisi beberapa telur sisa, dan testis juga berisi sperma sisa.
7.
Tahap terakhir
Warna kemerahan pada lubang genital sudah pulih dan gonad kecil.
Sumber : Effendie dalam Hijriyati (2012).
2. Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur matang sebelum dikeluarkan pada waktu ikan akan memijah. Fekunditas memberikan informasi taksiran jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan menentukan jumlah telur dalam kelas umur yang bersangkutan (effendie dalam Hijriyati 2012).
Pemijahan alami pada ikan kerapu sunu dalam kelompok dengan jumlah induk betina 3 – 7 ekor (Berat badan = 3,3 – 11,5 kg), dan induk jantan 2 – 5 ekor (Berat badan = 5,4 – 10,7 kg), dapat menghasilkan telur 4 – 48 juta butir per musim per bulan atau 3 – 9 juta per ekor pada induk betina. Diameter telur hasil pemijahan berkisar antara 816 – 935 mikron, sedangkan gelembung minyak (oil glubule), 191 – 241 mikron (Djamali dkk., 2001).






2.1.5 Jenis Ikan Kerapu Lainnya                                    
Selain ikan kerapu sunu, ikan kerapu komuditas lainnya adalah kerapu lumpur (Epinephelus coioides), dengan ciri  terutama penampakan bintik pada tubuhnya. Bentuk tubuh memanjang bagian kepala dan punggung berwarna gelap dan kehitaman, sedangkan perut berwarna keputihan, seluruh tubuhnya dipenuhi bintik-bintik kasar berwarna kecoklatan atau kemerahan. Ikan kerapu Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatu), memiliki badan yang tertutup oleh sisik kecil mengilap dan bercak-bercak loreng mirip macan. Badan berbentuk gepeng (compressed), sirip dada kemerahan dan sirip lainnya bertepi coklat kemerahan. Rahang atas dan bawah dilengkapi gigi-gigi geragatan terderet dua baris, ujung lancip, dan kuat. Ujung luar bagian dari gigi baris luar adalah gigi-gigi yang besar. Sementara itu, mulutnya lebar serong keatas dan bibir bawahnya menonjol keatas. Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis), bertubuh agak pipih dan warna dasar kulit tubunya abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh permukaan tubuh (Tim Induk Ikan Kerapu, 2001).
2.1.6 Teknik Pembenihan
Menurut K. Suwirya dkk (2006), teknik pembenihan yaitu meliputi dari seleksi induk, pemeliharaan induk, seleksi induk untuk persiapan pemijahan, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva, seleksi benih, dan pemanenan sebagai berikut :
1.      Seleksi Induk
Keberhasilan suatu usaha pembenihan sangat ditentukan pada ketersediaan induk yang cukup, baik jumlah maupun mutunya. Induk yang baik untuk pemijahan memiliki berat, untuk betina lebih dari 1,0 kg dan jantan lebih dari 2,5 kg, sehat dan tidak cacat. Semakin berat induk, akan mempunyai gonad semakin besar sehingga produksi telurnya semakin banyak. Induk yang sudah matang gonad dan biasanya menunjukan ciri-ciri, baik dari fisik maupun tingkah lakunya. Induk betina matang gonad perutnya lebih buncit dan pada awal pemijahan biasanya mengalami penurunan nafsu makan (K. Suwirya dkk., 2006).


2.      Pemeliharaan Induk
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan induk dapat berupa cumi-cumi, rucah, dan udang untuk memberinya dapat divariasikan. Jumlah pakan yang diberikan adalah 2 – 3% dari total berat badan induk dengan frekuensi pemberian sekali sehari, pada pagi hari atau sore (K. Suwirya dkk., 2006).
Menurut Suriawan dan Subyakto (2011), persiapan bak yang digunakan berbeda-beda, untuk pemeliharaan induk ikan kerapu di darat dapat dilakukan dalam bak pemeliharaan (bak semen atau  fiber), bervolume 100 – 150 m3, dengan kepadatan induk yang dipelihara adalah 1 – 3 kg per m3. Sementara pemeliharaan di laut dapat dilakukan dalam keramba jaring apung (KJA), berkuran 8 m x 8 m setiap unitnya dengan ukuran mata jaring 2 inch. Kepadatan induk yang dipelihara dalam keramba jaring apung adalah 1 – 1,5 kg m3.
3.      Seleksi Induk Untuk Persiapan Pemijahan
Untuk mempermudah seleksi induk, terlebih dahulu dilakukan pembiusan. Pembiusan harus dilakukan sebelum pemeriksaan kematangan gonad. Obat bius yang sering digunakan antara lain ethyleneglycol monophenilether dengan dosis 100 ppm atau minyak cengkeh dengan dosis 50 ppm. Pemeriksaan kematangan gonad pada induk betina dilakukan dengan metoda kanulasi dengan memasukan selang kanula atau kateter berdiameter 1 mm kedalam lubang genital sedalam 5-10 cm, lalu telur diisap. Setelah itu selang kanula dicabut secara perlahan. Dari hasil pengamatan, telur yang siap dipijahkan harus berdiameter minimal 450μ. Untuk induk jantan, pemeriksaan kematangan gonad dilakukan dengan metoda stripping. Metode ini dilakukan dengan mengurut bagian perut ikan ke arah lubang genital agar keluarnya sperma secara berlebihan dapat dihindari karena sperma yang keluar berlebihan dapat merusak organ dalam. Sperma yang baik dan siap dipijahkan berwarna putih susu dan kental. Untuk pemijahan buatan ini, perbandingan induk jantan dan betina sebaiknya 1:1. Bila jumlah induk cukup banyak sebaiknya disesuaikan dengan target produksi. Berat induk jantan atau betina antara 1 – 4 kg (Akbar dan Sudaryanto, 2001).


4.      Pemijahan
Menurut Subyako (2003), untuk pemijahan kerapu sunu, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu pemijahan secara alami dan sistem rangsangan hormonal. Berikut diulas kedua cara tersebut :
a.        Sistem manipulasi lingkungan
Pada sistem manipulasi lingkungan ini dilakukan pengeringan dan pengaliran air. Pengeringan air merupakan kegiatan penjemuran air yang dilakukan siang – sore hari hingga permukaan air dinaikan kembali dengan cara dialiri air sepanjang malam, dengan cara ini suhu air akan naik turun antara 2 – 5ºC. Suhu sangat berpengaruh pada proses reproduksi. Suhu yang diterima kulit oleh organ termosensor akan dilanjutkan ke otak sehingga menghasilkan hormone GnRH dan LHRH. Hormon inilah yang merangsang kelenjar pituitary sebagai penghasil hormone HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Hormone HCG tersebut merangsang kelamin untuk berproduksi. Selain suhu, intensitas cahaya pun berperan dalam pematangan gonad (Subyakto, 2003).
b.        Sistem rangsang hormonal
Sistem ini pun masih merupakan pemijahan alami, tetapi induk perlu dirangsang dengan penyuntikan hormon. Induk harus diseleksi yang terbaik untuk disuntik. Penyuntikan bisa dilakukan melalui otot daging (intramuskular), Melalui selaput dinding perut (intraperitonial), melalui rongga dada (chest cavity), dan melalui pangkal sirip (pectoral), namun, cara yang paling sering digunakan adalah melalui pangkal sirip. Hormon yang digunakan adalah hormon buatan seperti HCG dan Pb (puberogen). Dosis penyuntikan untuk setiap kilogram berat badan induk adalah 1000 IU hormon HCG dan 75 RU hormon. Penyuntikan hormone hanya dilakukan sekali saja, yaitu pagi hari, pada jantan dan betina dengan dosis yang sama. Keberhasilan pemijahan secara buatan sangat ditentukan oleh tingkat kematangan gonad. Langkah awal dalam proses pemijahan buatan ini adalah seleksi induk jantan dan betina. Induk yang harus dipilih harus benar-benar siap dipijahkan (Subyakto, 2003).


5.      Penetasan telur
Telur yang telah dipanen dipindahkan ke dalam tangki polikarbonat transparan yang telah di isi air laut. Kotoran yang tercampur dengan telur dibuang melalui penyaringan telur dengan mata jaring 1000 mikron (1 mm). Telur dalam air akan terpisah menjadi tiga bagian telur yang terapung, melayang dalam air dan mengendap di dasar tangki. Telur yang mengendap adalah telur yang tidak dibuahi atau mati dan harus segera dibuang. Telur yang melayang dalam air sebenarnya masih hidup namun tidak disarankan untuk digunakan dan sebaiknya dibuang. Telur yang melayang bisa menetas, namun larva yang dihasilkan sangat lemah, abnormal dan sudah mati. Dalam pembenihan, hanya telur yang terapung saja yang digunakan dengan cara memindahkannya menggunakan gayung. Telur yang terapung sebelum ditetaskan direndam terlebih dahulu dalam air laut yang mengandung 20 ppm larutan iodine untuk membasmi bakteri. Perendaman dengan iodine juga berguna untuk seleksi telur, karena setelah perendaman telur yang lemah biasanya mati sedangkan yang bermutu baik akan bertahan hidup.  Telur dapat disimpan dalam bak inkubasi sampai menetas, akan tapi menangani dan memindahkan larva yang baru menetas kedalam bak pemeliharaan larva. Pada umumnya telur yang disimpan dalam bak penetasan tidak menetas semua. Telur yang tidak menetas akan mengendap didasar bak, hal ini dapat dilihat pada siang hari setelah jam 13 : 00. Telur yang berkembang normal akan melayang karena diaerasi, namun sesaat sebelum menetas telur-telur tersebut akan berkumpul dipermukaan air. Pengambilan telur untuk dipindahkan ke bak pemeliharaan larva harus dilakukan beberapa saat sebelum menetas. Jumlah telur yang dapat digunakan untuk penetasan dan pembesaran larva dapat diduga dan dihitung dengan metoda volumetric (Sugama dkk., 2001).
6.      Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva dapat dilakukan dalam bak semen dengan kapasitas 10 – 20 ton yang dilengkapi dengan aerasi. Padat penebaran telur antara 40 – 60 / liter. Padat penebaran 50 butir / liter memberikan tingkat kelulusan hidup larva atau benih terbaik sampai umur 30 hari (Aslianti dalam Runtuboy 2004).
Larva kerapu sunu yang baru menetas mempunyai panjang badan total 1,69 – 1, 79 μm dan lama waktu penetasan 17 – 19 jam pada suhu 27 – 290C. Pada waktu larva berumur D. 1 saluran pencernaan sudah mulai terlihat, tetapi mulut dan anus masih tertutup, calon mata sudah terbentuk bewarna transfaran. Larva umur D. 2 bersifat planktonis, bergerak mengikuti arus, sistem penglihatan belum berfungsi serta masih mempunyai kuning telur (yolc sac) (Anonim dalam Runtuboy 2004).
Pada saat mulut larva terbuka pada waktu larva umur 3 hari pakan alami sudah mulai diberikan berupa Rotifer tipe-SS diberikan dengan kepadatan 5 – 6 ind/ml. Untuk mengetahui laju pertumbuhan larva, maka kepadatan larva dihitung dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Penambahan rotifer dilakukan apabila kepadatannya kurang dari 5 ind/ml. Mulai umur 5 hari larva diberi pakan rotifer tipe-S dengan kepadatan 7 – 9 ind/ml, disarankan untuk memberikan pakan rotifer  hingga berumur 30 hari. Rotifer yang diberikan pada larva sebaiknya diperkaya dengan cara memberikan pakan berupa fitoplankton Nannochloropsis selama 6 jam untuk meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh (HUFA). Upaya untuk menghindari terkontaminasinya rotifer dengan bakteri, disarankan untuk merendamnya dalam larutan 1 ppm preufuran (bahan antibiotic mengandung 10% nifurpirinol diproduksi oleh Argent Chemical Lab. USA), bersamaan dengan waktu pengkayaan (Giri, 1998).
Pada waktu larva berumur D. 12 – 15 hingga umur D. 20 pakan hidup yang diberikan berupa naupli artemia dengan kepadatan 0,5 – 3 ekor/ml dan dapat ditambahkan dengan copepoda untuk menambah variasi kandungan nutrisi pakan sejak larva berumur D. 8 – 25. Pada umur larva D. 25 – 35 pakan yang diberikan di samping naupli artemia, juga diberikan artemia muda dengan kepadatan 0,5 – 1 ekor/ml. Benih ikan umur D. 35 – 45 diberi pakan artemia dewasa atau udang jembret (Mysidopsis sp). Juvenil ikan kerapu sunu umur 45 hari dan seterusnya diberi pakan rebon segar dan daging ikan segar yang digiling dengan frekuensi pemberian pakan 3 – 4 kali/hari (Minjoyo dkk., 1998).

Agar tidak terjadi malnutrisi pada larva, maka pemberian pakan buatan harus dilakukan sedini mungkin. Pakan buatan dapat juga berdampak negative terhadap kualitas air akibat dari pembusukan sisa pakan. Disarankan untuk memberikan pakan buatan dimulai pada saat larva berumur 17 hari, karena larva lebih suka memangsa pakan hidup, maka sebaiknya pemberian pakan buatan dikombinasikan dengan pakan hidup. Cara pemberian pakan buatan dilakukan dengan cara menabur pakan sedikit demi sedikit memakai tangan. Sesuai dengan perkembangan larva, ukuran pakan buatan disesuaikan dengan kemampuan larva memakannya (Giri, 1998).
7.      Pemanenan Benih
Tujuan panen benih dari bak pemeliharaan larva adalah untuk melanjutkan kegiatan ke tahap berikutnya dalam ruang lingkup usaha pembenihan yaitu kegiatan pendederan, namun demikian kegiatan ini juga dapat merupakan suatu usaha sendiri yang terpisah. Panen benih dilakukan pada saat larva telah mengalami metamorphosis, yaitu spina dorsalis dan pectoralis telah tereduksi, pigmentasi tubuh telah muncul dan larva telah berubah bentuk menyerupai ikan dewasa. Umur benih pada kondisi ini biasanya berkisar antara 30 – 40 hari dan mencapai ukuran 1,5 – 2 cm. jika benih dipanen untuk usaha pendederan yang terpisah dari lokasi pembenihan, sebaiknya pemanenan dilakukan bila telah mencapai ukuran 2-3 cm agar lebih aman dalam pengangkutan. Persiapan panen yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan peralatan panen yang akan dipergunakan seperti keranjang plastik, ember, jaring, gayung dan baskom. Agar pemanenan dapat berjalan dengan baik. Adapun panen dilakukan dengan cara menggiring ikan kesudut bak, setelah terkumpul ikan dipanen dengan menggunakan baskom dan langsung dipindahkan ke bak pendederan yang telah disiapkan dan pemanenan dilakukan dengan cara mengurangi air media pemeliharaan hingga tersisa ¼ bagian dari volume awal, selanjutnya ikan diambil dengan menggunakan skopnet. Ikan-ikan tersebut ditempatkan pada wadah yang sudah disiapkan untuk dilakukan pemilihan ukuran dan jumlah selanjutnya siap untuk dikemas. Benih dari hasil pendederan sebaiknya dipuasakan minimal 24 jam sebelum dipanen. hasil pengalaman menunjukan bahwa bila benih dikemas dalam kondisi kenyang atau didalam lambung masih ada sisa pakan, maka pakan tersebut akan dimuntahkan. Kotoran yang dikeluarkan ikan akan menurunkan kualitas air media pengangkutan, hal inilah yang dapat menyebabkan kematian benih selama pengangkutan (Anonim dalam Runtoboy 2004).
8.        Pengelolaan Kualitas Air
Menurut Akbar dan Sudaryanto (2001), kualitas air perlu diperhatikan dan dikontrol untuk menunjang keberhasilan pemeliharaan larva. Bila bak pemeliharaan larva menggunakan bak penetasan telur, penyiponan harus sudah dilakukan sehari setelah telur menetas, namun, penyiponan ini sebenarnya bukan untuk mengganti air, melainkan untuk membuang cangkang telur dan telur yang tidak menetas. Pengelolaan air yang dilakukan dalam pemeliharaan adalah sebagai berikut :
a.        Pergantian air
Pergantian air dengan penyiponan mulai dilakukan setelah larva berumur 10 – 20 hari sebanyak 10 – 20% per hari. Umur 21-30 hari, air yang diganti sebanyak 30 – 40% per hari. Umur 31 – 35 diganti sebanyak 50 – 80% per hari, dan lebih dari umur 35 hari  airnya diganti sebanyak 80% per hari (Akbar dan Sudaryanto, 2001).
b.        Pengaturan suhu dan kadar garam
Suhu air laut yang layak untuk kehidupan kerapu sunu yaitu 26 – 31ºC. Kisaran ini layak untuk kehidupan larva ikan kerapu sunu. Perubahan suhu air yang terjadi secara tiba-tiba dalam kisaran tinggi akan memicu terjadinya stress pada larva. Untuk menghindari stress disarankan menutup bak larva dengan plastic transparan dimalam hari. Kadar garam air laut yang stabil yaitu 34 – 35 ppt (Sugama dkk., 2001).
c.         Penambahan plankton
Plankton dari jenis Nannochlorosis dengan kepadatan 10 – 15 sel/ml, dimasukan ke dalam bak larva untuk penyediaan pakan rotifer dan untuk mempertahankan warna air agar berwarna hijau yang selanjutnya dapat meratakan intensitas cahaya dalam air. Warna air yang hijau dapat menghindari kematian larva mengapung dan juga dapat menghindari terjadinya larva menggerombol disuatu tempat dalam bak. Larva ikan kerapu sunu ini sangat sensitive terhadap perubahan kondisi lingkungan, oleh karena itu plankton harus ditambahkan ke dalam bak pemeliharaan secara perlahan selama beberapa jam setiap hari menggunakan selang kecil. Penambahan air plankton ke dalam bak larva pada saat sebelum matahari terbenam dan dengan pemasangan lampu penerangan diatas bak larva akan membantu tumbuhnya populasi plankton (Sugama dkk., 2001).
d.        Penyebaran minyak ikan pada permukaan air pada bak larva
Sangat disarankan untuk menyebarkan minyak ikan atau minyak cumi di atas permukaan air bak larva pada saat larva berumur 1-5 HSM. Perlakuan ini sangat membantu menghindari kematian larva yang mengapung. Minyak tersebut diteteskan pada permukaan air lalu menyebar keseluruh permukaan air dalam bak larva. Jumlah minyak yang diteteskan adalah 0,1 ml/m2 luasan permukaan air bak dan dilakukan 3 kali sehari sekitar jam 8:00, 15:30 dan 22:00 (Sugama dkk., 2001).
9.      Hama
Menurut Kordi (2001), hama adalah organisme yang sengaja maupun tidak sengaja dan langsung maupun tidak langsung mengganggu, membunuh, dan memangsa ikan. Macam-macam hama dapat dikategorikan ke dalam jenis kompetitor (pesaing), predator (pemangsa), perusak sarana, dan pencuri sebagai berikut :
a.        Kompetitor
kompetitor adalah organisme yang menimbulkan persaingan dengan kerapu yang dipelihara dalam hal mendapatkan makanan, oksigen, dan ruang gerak. Organisme pesaing bisa berupa alga, kerang-kerangan, teritip, dan lumut yang semuanya biasa menempel pada jaring, sementara itu siput dan kepiting biasa ditemui sebagai pesaing di tambak. Untuk menanggulangi hama di KJA, bisa mengganti jaring yang telah ditempeli alga, lumut, teritip, dan kerang-kerangan, dengan demikian sirkulasi oksigen dan sinar matahari tidak akan terhalang oleh organisme tersebut. Untuk jaring yang memiliki mata jaring 1 inci, dibutuhkan waktu untuk ganti jaring sekitar 2 minggu, sedangkan untuk mata jaring berukuran 2 inci dibutuhkan waktu ganti sekitar 3 – 4 minggu. Untuk mengendalikan hama di tambak, cara menanggulangi siput agar tidak masuk ke tambak adalah memungut dan membuannya secara manual. Bisa pula dengan menggunakan pestisida organik saat persiapan lahan. Jenis kepiting yang menggali pematang dapat ditanggulangi dengan memperkuat pematang dan menangkap kepiting tersebut. Pengendalian terhadap kerang yang suka menempel pada kayu di tambak adalah mengganti kayu dengan yang baru (Kordi, 2001).
b.        Predator
Predator adalah organisme yang memangsa ikan peliharaan. Pemangsa kerapu biasanya berupa ikan hiu dan jenis burung seperti camar dan pelikan. Untuk predator seperti hiu biasanya tidak akan menyerang jika memang lokasi budidaya bukan merupakan daerah teritorial hiu. Untuk menaggulanginya dengan membuat  jaring rangkap supaya ruang gerak ikan buas bisa dipersulit sehingga tidak bisa menembus jaring. Untuk menanggulangi hama burung, bisa menggunakan tutup pada permukaan KJA agar tidak menyambar ikan, sedangkan untuk di tambak bisa dengan memperdalam ketinggian air. Kontrol terhadap lingkungan budidaya juga harus dilakukan untuk mencegah hama tersebut masuk (Kordi, 2001).
c.         Perusak sarana
Ada pula organisme yang bisa merusak sarana budidaya, misalnya ikan buas dan ikan buntal. Jaring bisa robek kerena serangan ikan buas yang akan memangsa kerapu, sedangkan ikan buntal juga memiliki sifat yang sama yaitu merobek jaring KJA. Untuk mengantisipasi, sebaiknya dipilih lokasi yang dasar perairanya tidak terlalu dekat dengan habitat ikan buntal adalah dasar perairan (demersal), sehingga akan memancingnya untuk menyerang KJA jika jarak dasar perairan dengan KJA terlalu dekat. Hewan yang dapat menyebabkan kerusakan tambak, misalnya kepiting menggali pematang, siput dan kerang yang dapat menyebabkan kerusakan pintu, dan sebagainya. Hewan-hewan ini dapat diatasi dengan memungut atau melepaskannya dari lubang penggalian atau tempat penempelannya. Untuk mencegah kebocoran pintu air, haruslah dibuat bahan-bahan pembuat pintu yang bermutu tinggi (Kordi, 2001).

d.        Pencuri
Manusia biasanya bertindak sebagai pelaku pencurian dan bisa menguras ikan dalam waktu yang singkat. Penangggulanganya adalah dengan mengontrol area lahan secara kontinu dan dijaga secara bergantian. Buatlah rumah jaga di areal budidaya sehingga keamanan selalu terjaga (Kordi, 2001).
10.   Penyakit
Di lingkungan alam, ikan dapat diserang berbagai macam penyakit atau parasit, demikian juga dalam pembudidayaan, bahkan penyakit atau parasit tersebut dapat menyerang dalam jumlah yang lebih besar dan dapat menyebabkan kematian ikan. Pencegahan penyakit dan penanggulangan merupakan aspek budidaya yang penting. Penyakit dapat ditimbulkan oleh satu atau berbagai macam sumber penyakit. Sebagai contoh, penyakit disebabkan oleh satu factor, tetapi kemudian dibarengi oleh factor yang lain. Bila terjadi semacam ini, penyakit kedua memanfaatkan kondisi yang disebabkan oleh penyakit pertama di dalam tempat pemeliharaan, seperti KJA, tangki, atau bak jenis ikan ini sering menjadi sasaran berbagai parasit, bakteri, dan virus. Parasit yang paling sering dijumpai adalah Neobenedenia yang hidup di kulit maupun insang. Serangan parasit ini dapat di atasi dengan cara ikan direndam selama beberapa menit di dalam air tawar. Sementara itu, jenis bakteri yang suka menyerang sirip dan kulit kerapu adalah Flexibacter dan Vibrio. Penyakit bakteri tersebut dapat diatasi dengan pemberian antibiotic, seperti oxytetracycline (50 mg) atau oxolinic acid (10-30 mg), per kg bobot badan ikan secara oral. Penyakit lain disebabkan oleh virus VNN dan iridovirus. Golongan penyakit ini sangat merugikan, oleh karena itu pemilihan benih yang sehat sebelum ditebar kedalam karamba sangat penting untuk dilakukan (Kordi, 2001).




BAB III
METODE PRAKTEK KERJA LAPANGAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktek Kerja Lapangan ini dilakukan selama (satu) bulan, mulai bulan April sampai dengan Mei 2015 bertempatan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL), GondolBali.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan Data yang akan digunakan dalam kegiatan kerja lapangan yang akan dilaksanakan yaitu:
a.                  Observasi : Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung obyek yang akan diamati atau dengan perantaraan alat. 
b.                  Wawancara : Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi atau tanya jawab secara langsung dengan peneliti yang bersangkutan. 
c.                   Partisipasi : Partisipasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan ikut serta secara aktif dalam kegiatan persiapan pemijahan, pemijahan dan pemeliharaan larva.













3.3    Prosedur Kerja
a)      Persiapan sarana dan prasarana
b)      Pengelolaan induk
c)      Seleksi induk
d)     Pemijahan
e)      Penetasan telur dan pemeliharaan larva (Perhitungan jumlah telur HR,SR)
f)       Pendederan
g)      Pemanenan benih
h)      Pengelolaan kualitas air ( pH, Suhu , Amoniak , dan kadar oksigen air)
i)        Pengendalian Hama dan Penyakit




















3.4    Jadwal Kegiatan Kerja :
Kegiatan
Februari
Maret
April
Mei
1  2  3  4
1  2  3  4
1  2  3  4
1  2  3  4
Survey dan perijinan
    *  *  *
*


Proposal
           
     *  *  *
*

Pelaksanaan

           
    *  *  *
*
Laporan



     *  * 
Ujian



             *